November 16, 2014

Seni Sebagai Kata



Belum ada kata yang tak mampu diucapkan

Bermula dari deretan huruf berjajar membentuk sebuah kata,
Kadang mata kasar terlihat satu namun tak menutup kemungkinan sarat akan makna.


Jejeran kata dalam kalimah berdiri teguh bak benteng dipapan catur,
Sekilas dibaca membingungkan dan nampak tak beratur.


Sang penyair melantunkan kata kata indah nan puitis,
Sang pujangga pun mengukirkan puisi yang tak kalah romantic.


Mural dan Graffiti bertebaran di sepanjang dinding kota,
Menyuguhkan kata dalam gambar agar kelak mendapatkan perhatian.


Kadang kala kata tak cukup tuk mengungkapkan perasaan,
Tapi benar juga kata orang tua dahulu kala jikalau perasaan tidak mesti diungkapkan.


Terdengar rancu mendengarkan kata bijak dari mulut seorang penjahat,
Namun sebijak bijaknya orang bijak jikalau mendengarkan meski tanpa melihat.


Hidup bagai mengumpulkan jejak kata kata,
Memungut dan menjadikannya sebagai pedoman hidup.


Tak pernah ada salah dari sebuah kata,
Tinggal cara memahami akan makna yang tersembunyi dibaliknya.


Mengungkapkan makna kata kata melalui seni,
Jalan hidup yang takkan membosankan.


Kata itu seni,
Tanpa sebuah kata seni takkan ada.


Boleh jadi sebaliknya.

November 10, 2014

Dua muka satu kepala

Manusia itu pelbagai ragamnya
Ada yang punya mata tapi masih buta
Ada yang punya lidah tapi bercadang dua
Bicaranya jujur sambil berdusta
Nista umpama zikir
Meluah kata tanpanya fikir
Apa sedang praktik menjadi munafik?

Di depan mata
Kau bermanis muka
Tutur kata asyik berbunga
Hakikatnya
Disini kau mencela
Disitu kau mencerca
Menjaja onar mengusut sengketa

Kawan, jangan kau jadikan kesungguhan sebagai guyonan
Yang salah mengubati bisa membawa mati
Yang gemar berdusta kan dijauhi bila tersingkap dustanya

"Di antara manusia ada yang mengatakan bahwa mereka beriman, namun sesungguhnya mereka tidak beriman. Mereka mencoba menipu Allah dan orang-orang beriman, tapi sayang, sebetulnya mereka telah menipu diri mereka sendiri.” 
(Al-Baqarah: 8-9).

November 6, 2014

Hipokrasi

Dalam megah mereka membenci,
Mengutuk,
Tidak mahu memahami,
Mengharamkan itu ini,

Pada masa yang sama jualah,
Mereka diam membisu,
Bagai dijerut halkum-halkum mereka,
Dari berperang menegakkan yang Haq,

Nun, 
Di peti kaca TV,
Galak menyentuh tiada bersebab,
Tidak lah pulak mereka menajiskan,

Nun,
Di kerusi-kerusi empuk,
Hidup sang penyangak,
Menelan segala riba,
Wahai, diam sahaja?

Nun,
Di tepi-tepi longkang,
Hidup sang gelendangan,
Dikutuk dihina,
Mereka senyap seribu bahasa.

Nun, 
Di ceruk2 dusun,
Manusia bagai lagaknya haiwan,
Menyondol kalahkan khinzir,
Tidak pula mereka khuathir

Ah,
Kerja mereka hanya mahu melaga,
Mengusut dari menguraikan,
Supaya buncit perut mereka,
Kenyang hasil menerangkan,
Kekusutan yang mereka cipta tadi.

Ah,
Borjuis-borjuis agama,
Kamu membenci yahudi nasrani,
Namun kamu semacam serasi...

Aku harus bagaimana?
Atau kamu yang harus bagaimana?

(At-Taubah: 34)